happy ever after(?)
Tiba-tiba kami menikah. Seperti intimate tapi lebih sederhana, tanpa dekor, tanpa seserahan dan banyak printilan lain yang tidak kami masukkan dalam acara ini. Mengemas acara ini dengan "selamat" Namun orang memandang seperti "ala kadarnya". Begitulah, meriah dicari kekurangannya, sederhana dibicarakan.
Jujur saya senang bisa menikah, hanya saya sadar bahwa sifat-sifat aslinya mulai satu-satu tersingkap. Banyak yang mematahkan rasa senang saya, dan sekarang tergantikan dengan kata "oh.. " Saja.
Saya kira dengan menikah dapat saling memperhatikan, faktanya jelas terbalik, justru saya yang lebih perhatian (mungkin?). Saya kira dengan menikah setiap akan tidur, ada yang mendengarkan saya berkeluh kesah begitu juga sebaliknya, faktanya jelas saya ditinggal tidur duluan pukul 7 atau 8 (mungkin?).
Saya kira, dengan menikah kegiatan apapun ada yang mendampingi, faktanya saya sering pergi sendirian (mungkin?), sebaliknya. Saya yang sering menemani beliau. Hal-hal krusial seperti pergi menemani saya ke dokter beliau berasannya tidak lain dan tidak bukan "sakit kepala" dan "bentar lagi dipanggil mamah" membuat perasaan saya sedikit bingung, harus sedih atau marah?
Nampaknya, saya baru menyadari apa yang ibu saya wejangkan, mungkin inilah ketakutan terbesar beliau (mungkin?).
Jikalau ada pertanyaan apakah saya sempat ada keraguan? Jelas ada, yang saya rasakan adalah tidak ada kesadaran, harus ada gertakan terlebih dahulu. Beliau yang mengajak saya untuk menikah, namun yang paling leha-leha, saya rasa hal tersebut menunjukkan ketidak sungguh-sungguhan, tipikal individu yang menghindari konflik dan menunggu arahan.
Mungkin naluriah perempuan, yang gemar memperhatikan hal-hal yang mungkin cukup remeh. Seperti kebersihan, atau makanan atau juga hal-hal sosial. Namun, jika semua dikerjakan oleh diri sendiri, lumayan melelahkan ya?
Menyadari banyak hal yang saya pendam, dan saya sembunyikan jelas saya tidak bisa berbincang terhadap teman mengenai ini, saya rasa emosi saya mudah untuk naik dan saya sadar bahwa marah marah hanya membuat saya semakin lelah, terpaksa saya melakukan silent treatment. Saya sadar bahwa sikap ini sebenarnya toxic, tidak ada pembelaan terhadap itu. Yang saya khawatirkan adalah sikap ini terus berulang dan menjadi bad habit.
Kemudian pikiran saya mengawang-ngawang, perasaan seperti takut terkena baby blues contohnya. Jika disangkut pautkan dengan ini, jelas koheren. Selain suport finansial, jelas perlu suport emosional, dan saya takut bahwa salah satu dari dua hal tersebut tidak terpenuhi.
Saya rasa jika saya mencari pekerjaan yang lebih menjamin terkait salary, saya bisa melakukan apapun dengan sendiri.
Komentar
Posting Komentar