Timbul Tenggelam.

Hai,  maaf saya baru bisa menulis lagi. Saya kembali karena memang banyak yang harus di tuliskan.  Barangkali ini bisa jadi penenang hati dikala dunia terasa begitu amat sesak. 

Pertama,  saya banyak tugas dan kegiatan, terlebih lelah sampai lupa harus menulis.  Juga banyak plan yang belum terealisasikan,  karena saya belum bisa konsisten membagi waktu. Walaupun saya tahu dampak buruk dan baiknya menunda semua ini,  saya belum memiliki integritas yang utuh. 

Kedua,  banyak yang ingin saya ceritakan.  Anggap saja curhat lah ya,  juga penyesalan, kebodohan,  dan perlunya perenggangan dalam semua ketengangan yang saya rasakan,  saya butuh liburan. Karena saya sudah pasrah, ada kalanya lelah menghampiri. Menuju titik jenuh. 

Seharusnya,  ya seharusnya.  Saya tidak usah terlarut dalam rasa yang hampir basi, saya yang melukai lalu kami yang memutuskan.  Sama sama terluka,  egoisnya tidak kembali. Tapi kami saya sadar posisi,  saya juga tidak ingin menempatkan dalam suatu bahaya yang mungkin akan membuat saya jatuh terlalu dalam, dia yang sudah melaju,  dan saya masuh dengan rasa itu.  Terasa bodoh dan naif jika saya beranggapan "oh tentu hatinya milikku! ".

Kadang juga,  harta membuat seseorang tidak menginjak tanah,  tinggi hatinya! Padahal,  seharusnya yang lebih merdeka dalam segi finansial membekali dirinya dengan ilmu yang bisa menuntunnya pada surga-Nya. Bukankah yang terbaik di sisi-Nya adalah yang paling bertaqwa? 

Saya sedang pasrah,  tidak semangat,  juga menetap dalam sebuah kegelisahan. Saya ingin menangis.  Tapi rasanya tidak perlu menghabiskan air mata untuk sesuatu di dunia yang amat vulgar ini. Mungkin cukup sekian,  semoga saya bisa esok saya tetap bisa menulis dengan konsisten. Nanti bersua kembali,  selamat malam :)

Komentar

Postingan Populer